Yogyakarta, 7 Februari 2025 – Penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada 18 September 2023 membawa dampak besar bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro. Sejak relokasi pertama ke Teras Malioboro 2 pada 26 Januari 2022, para PKL menghadapi berbagai permasalahan, seperti penurunan pendapatan secara drastis, lapak yang tidak layak dengan ruang sempit, sering terjadi banjir dan pemadaman listrik, terganggunya tatanan sosial antar pedagang, hak lapak yang tidak diberikan kepada PKL tertentu, dan 16 pihak menerima lapak secara tidak transparan, sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 22/KEP/DPRD/XII/2023.
Setelah tiga tahun berlalu, pemerintah kembali melakukan relokasi PKL ke Ketandan dan Beskalan tanpa adanya transparansi dan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan. PKL telah mengajukan berbagai pengaduan ke DPRD, Ombudsman, hingga Komnas HAM, namun hingga kini hak-hak mereka tetap terabaikan.
Aksi Demonstrasi: Menuntut Transparansi dan Keadilan
Sebagai bentuk protes terhadap ketidakjelasan dan ketidakasilan kebijakan ini, PKL Malioboro bersama Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (ARUS) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD DIY pada Jumat, 07 Februari 2025. Aksi ini dilakukan sebagai respons atas batalnya agenda audiensi yang sebelumnya telah disepakati DPRD DIY pada 31 Januari 2025 dan 03 Februari 2025, namun tidak pernah terlaksana tanpa alasan yang jelas.
Dalam aksi ini, massa menuntut DPRD DIY menepati komitmennya dalam membuka ruang dialog yang adil bagi PKL yang terdampak kebijakan relokasi. Mereka juga mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib rakyat kecil yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan ekonomi di kawasan Malioboro. Namun, sayangnya, aksi damai ini diwarnai oleh tindakan represif aparat keamanan. Beberapa peserta aksi mengalami intimidasi dan perlakuan keras saat berdagang di Selasar Malioboro dan ketika menyampaikan aspirasi mereka. Selain itu, terdapat dugaan upaya pecah-belah massa aksi dengan melibatkan masyarakat lokal guna menghambat jalannya demonstrasi. Beberapa pihak mencurigai bahwa tindakan ini merupakan strategi untuk melemahkan gerakan PKL dan ARUS.
Komitmen PKL Malioboro dan ARUS
Meskipun menghadapi berbagai tekanan, massa aksi tetap bertahan dan menegaskan bahwa perjuangan mereka belum selesai. Mereka menuntut transparansi dan keterlibatan penuh dalam setiap kebijakan yang berdampak pada PKL Malioboro. Demonstrasi ini menjadi bukti bahwa persoalan relokasi masih jauh dari selesai. PKL dan ARUS berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka serta mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik hanya akan menciptakan ketidakadilan dan konflik sosial berkepanjangan.
Tuntutan Gerakan Masyarakat Sipil (ARUS):
- Memberikan jaminan hidup pasca relokasi bagi PKL Teras Malioboro 2.
- Memastikan transparansi administrasi dalam proses relokasi PKL.
- Memberikan hak lapak bagi PKL yang belum mendapatkan tempat berdagang.
- Mengusut tuntas praktik pemberian lapak yang tidak transparan.
- Melibatkan PKL Malioboro dan masyarakat secara partisipatif dalam pengembangan kawasan di Yogyakarta.
- Mendesak DPRD DIY untuk bersikap tegas dan serius dalam menangani persoalan relokasi PKL Malioboro serta mendukung perjuangan PKL dalam mencari keadilan.
Dengan adanya tuntutan ini, PKL Malioboro dan ARUS berharap ada solusi yang adil dan berkeadilan bagi seluruh pedagang yang terdampak kebijakan relokasi, serta mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Penulis: Evantio Yudhistira – Sekretaris Wilayah LMND DIY