Di era digital saat ini, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan penetrasi internet dan media sosial yang terus berkembang pesat, FOMO telah menjadi isu yang signifikan. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 200 juta orang pada tahun 2023. Keterhubungan yang mendalam ini menciptakan lingkungan yang subur bagi berkembangnya FOMO, mempengaruhi cara orang berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter berfungsi sebagai platform utama di mana FOMO berkembang dengan pesat. Setiap hari, pengguna dihadapkan pada beragam konten yang menampilkan gaya hidup mewah, pencapaian pribadi, dan momen-momen berharga dari teman, selebritas, serta influencer. Konten-konten ini sering kali disajikan dengan tampilan yang sangat mengesankan, membuat kehidupan yang tampak glamor dan sukses terlihat seolah-olah menjadi standar yang harus dicapai.
Pajangan gaya hidup mewah dan pencapaian pribadi yang diunggah oleh orang lain sering kali memicu perasaan tidak puas dengan kehidupan kita sendiri. Melihat teman atau orang-orang yang kita ikuti di media sosial menikmati pengalaman-pengalaman menarik atau memperoleh pencapaian besar dapat mendorong keinginan yang kuat untuk selalu mengetahui dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang tampak menarik dan bermanfaat. Rasa takut ketinggalan momen-momen berharga ini sering kali menyebabkan tekanan untuk mengikuti tren dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang sedang viral.
Lebih dari itu, FOMO mempengaruhi keputusan sehari-hari, dari pemilihan produk yang dibeli hingga aktivitas yang diikuti, dengan motivasi untuk tidak merasa tertinggal dibandingkan orang lain. Dalam banyak kasus, ini dapat mengarah pada pengeluaran yang tidak perlu atau terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk memahami dampak FOMO pada kehidupan kita dan bagaimana fenomena ini mempengaruhi persepsi serta tindakan kita di era digital.
Fenomena FOMO di era digital bukan hanya memengaruhi aspek pribadi tetapi juga dapat memiliki dampak lebih luas terhadap keadilan sosial. Perasaan takut ketinggalan yang ditumbuhkan oleh media sosial dapat memperkuat ketidakadilan sosial dengan menciptakan perbedaan antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak. Dalam konteks ini, FOMO menjadi cermin dari bagaimana tekanan sosial dan eksposur media dapat mempengaruhi cara kita melihat dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Memahami Fenomena FOMO
Fear of Missing Out (FOMO) adalah perasaan cemas atau takut kehilangan sesuatu yang penting atau menyenangkan yang dialami oleh orang lain. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dan Herman pada tahun 2004 untuk menggambarkan dampak psikologis dari media sosial dan komunikasi digital terhadap perilaku konsumen. Patrick J. McGinnis kemudian mempopulerkan konsep ini, menjelaskan FOMO sebagai fenomena sosial dan psikologis yang timbul dari kekhawatiran atau kecemasan karena takut melewatkan kesempatan atau pengalaman yang mungkin dinikmati orang lain.
Di era digital, FOMO seringkali diperburuk oleh eksposur berlebihan terhadap media sosial, di mana kita terus-menerus melihat kehidupan orang lain yang tampaknya lebih menarik atau sukses. Media sosial memperkuat perilaku ini dengan memberikan akses tanpa henti kepada kehidupan orang lain. Masyarakat sering merasa perlu untuk mengikuti tren dan aktivitas terkini agar tetap relevan dan diterima oleh kelompok sosial mereka. Era digital memberikan akses mudah kepada informasi yang berlimpah, membuat kita merasa harus selalu mengetahui dan terlibat dalam segala hal.
Menurut VeryWellMind, perasaan FOMO dapat dialami oleh semua gender dan umur. Orang yang mengalami FOMO cenderung memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah karena terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan orang lain. Gejala FOMO yang dibiarkan dapat memicu kelelahan, stres, depresi, dan masalah tidur. Selain itu, FOMO juga dapat memicu masalah finansial, karena seseorang mungkin rela mengeluarkan biaya besar demi tetap up-to-date dan tidak ketinggalan zaman.
Di Indonesia, fenomena FOMO sering muncul dalam berbagai konteks. Contohnya terjadi pada generasi muda. Generasi muda hari ini berhubungan erat dengan perasaan yang selalu ingin terlibat dalam segala hal yang menyenangkan, atau bahkan ingin diakui dan mengejar eksistensi. FOMO dapat menyebabkan dampak negatif, di antaranya adalah rasa tidak percaya diri (insecure), bertindak impulsif, dan dapat mengganggu produktivitas. Remaja yang selalu merasa tertinggal cenderung kurang fokus pada kegiatan produktif seperti belajar dan bekerja. Sebagai akibatnya, mereka mungkin mengalami penurunan prestasi akademik atau kinerja di tempat kerja.
Selain itu, FOMO juga dapat memicu perilaku konsumtif yang berlebihan, karena remaja sering merasa perlu mengikuti tren terbaru agar tidak ketinggalan. Mereka rela mengeluarkan biaya besar demi mengikuti gaya hidup yang dipamerkan di media sosial, yang seringkali tidak sesuai dengan kondisi finansial mereka.
Contoh lainnya adalah istilah “No Viral, No Justice”. Istilah ini mencerminkan situasi di mana keadilan atau perhatian dianggap hanya akan tercapai jika suatu masalah atau kejadian menjadi viral di media sosial. Kasus-kasus seperti kasus Sambo dan Vina merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Eksposur publik di media sosial dapat mempengaruhi cara isu-isu penting diangkat dan ditangani. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang kuat dalam memobilisasi dukungan dan meningkatkan kesadaran, namun sering kali memerlukan lebih dari sekadar perhatian sesaat untuk menghasilkan perubahan yang substansial.
Dampak-Dampak Fenomena FOMO Menurut Para Ahli
Fenomena FOMO memiliki dampak yang kompleks, baik positif maupun negatif. Sheryl Sandberg, COO Facebook, berpendapat bahwa FOMO bisa menjadi pendorong motivasi untuk mencapai lebih banyak dalam kehidupan pribadi dan profesional. Clayton Christensen, ahli inovasi, melihat FOMO sebagai dorongan untuk berinovasi dan menciptakan solusi baru agar tetap relevan.
Namun, dampak negatif FOMO juga tidak bisa diabaikan. Jean M. Twenge, psikolog, menunjukkan bahwa FOMO dapat menurunkan kesejahteraan emosional, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda, menyebabkan stres, depresi, dan penurunan kepuasan hidup. Cal Newport, penulis “Digital Minimalism”, mengkritik penggunaan teknologi dan media sosial yang berlebihan, yang dapat mengganggu produktivitas dan kesehatan mental.
Pandangan ini dikuatkan juga oleh Barry Schwartz, psikolog yang mengamati bahwa FOMO dapat menyebabkan “paradoks pilihan”, di mana terlalu banyak opsi menyebabkan ketidakpuasan. Dan Ariely, ahli behavioral economics, menambahkan bahwa FOMO dapat mempengaruhi perilaku konsumsi, menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu untuk mengejar apa yang tampak penting di media sosial.
FOMO, sebagai fenomena yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi digital, memiliki dampak besar pada kehidupan sehari-hari dan keadilan sosial. Meskipun dapat memotivasi individu untuk berprestasi dan berinovasi, dampak negatif seperti penurunan kesejahteraan emosional dan peningkatan pengeluaran yang tidak perlu juga perlu diwaspadai. Memahami dan mengelola FOMO dengan bijaksana dapat membantu memaksimalkan manfaat teknologi digital sambil meminimalkan risiko-risiko yang ada.
Sebagai penutup, Fenomena FOMO adalah cerminan dari dampak besar teknologi digital terhadap kehidupan sosial dan emosional kita. Dengan meningkatnya keterhubungan melalui media sosial, penting bagi kita untuk menyadari bagaimana FOMO mempengaruhi kita dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan baik. Pendekatan yang bijak terhadap penggunaan teknologi dapat membantu kita memanfaatkan manfaat era digital tanpa terjebak dalam tekanan dan kecemasan yang ditimbulkan oleh FOMO. Memahami batasan diri dan mengembangkan strategi yang tepat dapat membantu kita menikmati manfaat teknologi digital tanpa harus terjebak dalam lingkaran kecemasan yang tidak perlu. Dengan kesadaran dan tindakan yang tepat, kita dapat mencapai keseimbangan antara keterlibatan digital dan kesejahteraan emosional.
Penulis: Wale Mukadar – Ketua EW LMND DIY dan Mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta