Berawal dari berkabar via online dengan beberapa teman di pulau buru, tempat kelahiranku. Berbagai macam topik mewarnai percakapan singkat kita, mulai dari perkembangan dan kemajuan juga persoalan kebudayaan dan tradisi daerah yang mulai ditinggalkan.
Terlintas kata budayawan Sujiwo Tejo “berhenti berbicara modern, kalau kebudayaan dan tradisi di tinggalkan”. Kalimat ini cukup mewakili gambaran situasi pulau Buru saat ini.
Sekitar tahun 2005 saat masih duduk di sekolah dasar, saya bahkan sudah menjadi salah satu yang menikmati hasil perkembangan teknologi. Benar adanya bahwa kondisi pulau Buru telah dihadapakan dengan perkembangan tekonologi yang begitu pesat sehingga mempengaruhi pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat, tak terkecuali bagi saya yang menyandang status sebagai anak muda.
Perkembangan semacam ini pun turut memberikan perspektif bagi kehidupan sehari-hari. Misalnya bagaimana saya harus berteman secara baik, termasuk bagaimana saya mencari teman yang cocok sebagai kawan diskusi maupun bersenang-senang.
Dibesarkan ditengah kondisi lajunya perkembangan teknologi sudah tentunya menjadi sesuatu kebanggan bagi saya, namun disaat bersamaan pun turut menghadirkan sebuah kegelisahan yang teramat dalam. Bagaimana tidak, budaya daerah yang mestinya dipertahankan perlahan mulai dikikis dan hilang disapuh bersih oleh badai globalisasi.
Arus perkembangan semakin tak terbendung, namun di Pulau Buru yang letaknya di Indonesia bagian timur, Provinsi Maluku masih memliki Budaya “Kai Wai”, budaya yang selalu di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya kai wai yang berarti kaka adik atau bersaudara.
Diyakini bahwa kebiasan Kai Wai ini dapat membawa kebaikan dalam pergaulan masyarakat pulau buru. Budaya “bersaudara” yang bukan hanya sebatas kaka dan adik, namun juga terhadap setiap orang yang mendiami pulau buru, tanpa memandang satatus dan perbedaan yang dimiliki.
Dalam beberapa kesempatan, budaya Kai Wai ini tercermin dalam pergaulan anak muda yang dimana selalu ramah dengan setiap orang yang di temui, bahkan akan disambut dengan persembahan siri pinang yang dimaknai sebagai simbol kerukunan hidup bersaudara masyarakat Pulau Buru.
Hal yang serupa pula akan dilakukan saat penyelesaian konflik/selisih paham antara masyarakat di Pulau Buru. Ketika proses penyelesaian berlangsung biasanya akan dimulai dengan persembahan siri dan pinang sebagai sareat pembuka percakapan.
Budaya yang benar-benar dimaknai sebagai suatu kekuatan persaudaraan antara sesama tidak akan musnah di telan waktu.
Menjadi penting bagi kita generasi muda Pulau Buru dan semua anak bangsa untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya.
Tetaplah moderen, tetaplah millenial tanpa harus meninggalkan kebudayaan.
Muda sudah pasti milenial, milenial belum tentu berbudaya, anak muda harus berbudaya.
Penulis: Reza Reinaldi Wael /Adhyna