Maluku Tengah (25/04/2025) – Konflik horizontal yang terjadi pada 3 April 2025 antara Negeri Sawai dengan Negeri Administratif Masihulan serta Dusun Rumaolat menyisakan luka sosial mendalam dan mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Peristiwa ini bukan hanya soal penembakan warga dan pembakaran rumah, melainkan akumulasi panjang gesekan sosial yang dinilai telah mencederai pranata adat Negeri Sawai.
Akar konflik disebut-sebut berakar dari kesaksian palsu Kepala Pemerintah Negeri Masihulan dalam sidang tapal batas yang berpihak pada kelompok Hualau, serta perusakan tanaman, pembakaran rumah warga, dan pemalangan jalan. Peristiwa ini kemudian mendapat respons luas di media sosial dan media daring, meski banyak unggahan dinilai tidak komprehensif dan minim validasi informasi, sehingga membentuk opini publik yang kurang berimbang.
Meski demikian, gelombang simpati masyarakat luas tak terbendung. Bantuan kemanusiaan mengalir dari pemerintah hingga berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Pemerintah pun bergerak cepat. Sehari setelah konflik pecah, jajaran pejabat dari Bupati, DPRD, Gubernur Maluku, Kapolda hingga Pangdam hadir langsung menyapa masyarakat. Narasi “Orang Basudara”, “Pela Gandong”, hingga “Potong di Kuku Rasa di Daging” kembali digaungkan sebagai jalan damai khas Maluku.
Namun, narasi damai tersebut diuji kembali dalam penyaluran bantuan kemanusiaan.
Bantuan Terhambat, Masyarakat Sawai Kecewa
Pada 13 April, bantuan dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah didistribusikan ke Negeri Sawai, Masihulan, Rumaolat, dan Olong. Bantuan berjalan cukup lancar dan melibatkan partisipasi organisasi kemasyarakatan dan desa-desa sekitar.
Namun, pada 20 April, bantuan dari Pemerintah Provinsi Maluku justru menimbulkan kontroversi. Bantuan yang dilepas langsung oleh Gubernur Maluku dilaporkan tak kunjung sampai ke Negeri Sawai dan Desa Olong. Rute darat yang seharusnya dilalui kendaraan bantuan diduga “diamputasi”, dan dialihkan menuju desa Besi. Warga yang ingin mengakses bantuan harus menempuh jalur laut, sementara bantuan ke Masihulan dan Rumaolat tetap tersalurkan.
Warga menilai tindakan ini tidak adil dan tidak profesional, terutama kepada TNI/POLRI yang bertugas mengawal penyaluran bantuan. Kekecewaan publik memuncak setelah informasi beredar bahwa ada ancaman dari masyarakat Masihulan yang akan membakar kendaraan bantuan jika masuk ke Sawai dan Olong. Padahal, sebelumnya dalam pertemuan raja-raja dan kepala desa se-Kecamatan Seram Utara pada 14 April di Rumaolat, Kodim 1502 telah menyerukan perdamaian antar wilayah.
Minimnya Pendekatan Multidimensi dalam Penyelesaian Konflik
Pengamat menilai, pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik sosial masih didominasi pendekatan hukum formal. Pendekatan ini dinilai hanya menyentuh aspek fisik konflik, tanpa menyelesaikan trauma dan luka sosial yang membekas.
Alih-alih meredam konflik secara utuh, pendekatan legal-formal kerap memperlebar segregasi sosial. Pendekatan psikologis dan sosial dinilai lebih efektif dalam menyembuhkan luka pasca-konflik, sebagaimana dikemukakan dalam studi Supiyat Haupea dan Dr. Pratikno (2004) tentang resolusi konflik antar desa di Kecamatan Leihitu.
Tak hanya itu, masalah agraria juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Hak ulayat masyarakat adat atas tanah kerap diabaikan dalam regulasi pemerintah, padahal konflik agraria yang melibatkan masyarakat hukum adat telah menjadi bom waktu di banyak daerah. Pemerintah didorong untuk segera membentuk Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebagai dasar hukum dalam melindungi hak-hak komunitas adat.