Sebentar lagi Indonesia berusia ke-78 tahun tepat pada tanggal 17 Agustus 2023 nanti. Sedangkan sejarah pendidikan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha pada abad ke-4 Masehi, jauh sebelum Indonesia itu ada. Pada zaman kolonial Belanda, pendidikan formal di Indonesia mulai berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah. Pada masa itu, pendidikan difokuskan untuk mencetak tenaga kerja yang bisa bekerja di pabrik dan kantor pemerintah Belanda. Barulah pada tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setelah itu, pendidikan menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Lalu, Apakah saat ini pendidikan masih menjadi prioritas pembangun nasional?
Sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, permasalahan klasikal pendidikan di Indonesia belum menemukan titik terangnya. Padahal permasalahan pendidikan sangat substantif. Tapi pemerintah sejauh ini bisa dikatakan tidak serius menangani persoalan pendidikan. Hal tersebut bisa kita lihat ketika Kesetaraan sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) belum maksimal, Pungutan Liar dalam Penerimaan Peserta Didik (PPD) di sekolah masih ada dan Kekerasan seksual di sekolah terus meningkat. Salah satu hal penting yang harus di perhatikan adalah kekerasan seksual disekolah. Mengapa demikian?
Kilas Balik (Kekerasan Seksual Aanak)
Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sejak Januari sampai dengan Mei 2023 bahwa sejak 5 bulan 2023 sudah terjadi 22 kasus KS disatuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik. Persoalan ini bila tidak ditangani dengan serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih luas di masyarakat.
Pasalnya kekerasan seksual yang dialami berdampak panjang pada masalah kesehatan kemudian hari, trauma anak hingga dewasa nanti, hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa, hingga pelampiasan dendam kemudian hari. Kekerasan seksual terhadap anak menjadi fenomena tersendiri sejauh ini. Sehingga kebanyakan anak menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor. Oleh karena itu, orangtua diharuskan mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual.
Kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual adalah perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan meyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang. Sehinggah perbuatan ini berdampak pada penderitaan psikis dan fisik korbanya. Kasus kekerasan seksual setiap tahun terus meningkat di Indonesia dan lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga, atantara lain: di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.
Hal tersebut dapat kita lihat pada peristiwa kekerasan seksual terhadap anak TK di Jakarta Internasional School, di Medan seorang ayah mencabuli anaknya sendiri yang berusiah 18 bulan, seorang guru SD di Kukar, Kalimatan Timur tersangka kasus Sodomi, di Ciancur seorang oknum guru SD di yayasan AL-Azhar pedofilia, Guru ngaji di bandung cabuli belasan muridnya, Korban guru ngaji di kabupaten Batam, Jawa Tengah mencapai 21 korban, di Sleman mencapai15 korban dan di Garut mencapai 17 korban, Usia korban 5 s.d. 13 tahun, seorang siswi kelas enam SD di Binjai Sumatra Utara diusir oleh warga dan putus sekolah setelah diketahui hamil akibat diperkosa, bahkan di ruang lingkup kampus/universitas pun terjadi pelecehan seksual dosen kepada mahasiswanya di FK Universitas Andalas terdapat 12 korban, dan masih banyak lagi.
Begitu banyak temuan kekerasan seksual di lingkup pendidikan. Lebih mirisnya lagi, peristiwa kekerasan seksual ini kebanyakan pelakunya adalah guru, berdasarkan laporan dari media massa yang sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Terdapat Guru sebanyak 31,80%, Pemilik dan atau Pemimpin pondok pesantren 18,20%, Kepala sekolah 13,63%, Guru ngaji (satuan pendidikan informal) sebanyak 13,63%, Pengasuh asrama atau pondok sebanyak 4,5%, Kepala madrasah sebanyak 4,5%, dan yang lainnya 9,%.
Data tersebut sejalan dengan perkataan dari Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti ia mengatakan bahwa “Pelaku KS adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan dilindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa guru seharusnya berperan sebagai mengajar, mendidik, membimbing, melatih, serta mengarahkan anak didiknya. Kini menjadi seorang Guru cabul (guru bejat) atau dengan kata lain seorang Predator. Lalu upaya apa yang harus dilakukan?
Upaya Pencegahan.
Penanggulangan terhadap tindakan kekerasan seksual pada anak kalau berdasarkan pada undang-undang perlindungan anak, meliputi: Pemerintah, Orang Tua dan Masyarakat wajib memberikan perlindungan pada anak, wajib memantau, memberikan informasi, melapor pada pihak yang berwajib,memberikan sanksi yang berat bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, dan memberikan pengobatan maupun masa rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual.
Oleh karena itu, kata mencegah lebih baik daripada mengobati, yang bahkan sering kita mendengar kalimat tersebut. Sehinggah sangat tepat jika penanganan kepada korban Kekerasan Seksual angat diperlukan seperti restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Kemudian Kemendikbudristek juga harus melakukan perubahan terhadap Pemendikbud No.82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, khususnya perilaku kekerasan seksual apa saja di sekolah.
Serta Kementrian Agama RI juga melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No.73 tahun 2022 tentang pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual pada anak di Madrasah dan Pondok pesantren atau satuan pendidikan dibawah naungan Kemenag, mengingat kasus kekerasan seksualnya lebih tinggi dibanding dengan satuan pendidikan lainnya yakni dibawah naungan Kemendikbud.
Bukan hanya itu penangan juga patut dilakukan oleh Pemerintah daerah atau Dinas-dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dalam hal ini bekerjasama dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, menginat guru guru BK belum ada di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Penulis: Jainudin Abas (Direktur Utama Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta).