Hong Kong yang dikenal dengan one country two system atau satu negara dengan dua sistem ini melakukan amandemen terhadap UU Ekstradisi yang kontroversial dan memicu amarah warga Hongkong. Salah satu poin perubahan yang diambil adalah ekstradisi dari Hong Kong ke yurdiksi manapun yang sebelumnya tidak memiliki perjanjian termasuk di China Daratan (Hadriyah, 2019). Jika Parlemen Hongkong mengamandemen Undang-Undang Ekstradisi atau mengusulkan Rancangan Undang- Undang (RUU) Ekstradisi yang baru, maka pelaku kejahatan di Hong Kong akan diekstradisi di China Selatan atau akan dikirimkan ke China dan diadili disana. Ini tentunya membuka intervensi China yang lebih besar di Hong Kong.
Warga Hong Kong tidak memercayai sistem peradilan China dan menganggap RUU Ekstradisi ini mengancam otonomi Hongkong. Tak hanya menjalani hukuman yang seenaknya, tersangka kriminal yang dikirimkan di China Selatan juga akan mengikuti persidangan yang tak adil. Aksi besar-besaran pun dilakukan oleh para demonstran yang sering disebut sebagai anti ekstradisi. Apa yang dianggap Carrie Lam sebagai penutup celah undang-undang itu membangkitkan gerakan pro demokrasi di seluruh kota Hong Kong. Selama enam bulan, jutaan orang turun ke jalan. Pada 31 Maret 2019, terdapat sebanyak 12.000 demonstran, angka ini naik menjadi 130.000 demonstran pada 28 April 2019 kemudian naik hingga mencapai lebih dari satu juta orang pada 9 Juni 2019 yang menghadiri demo. RUU Ekstradisi yang dikenal sebagai Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 telah memicu kerusuhan terburuk di Hong Kong selama setengah dekade (Chan, 2023).
Dalam unjuk rasa tahun 2019 ini, menurut saya media lokal berperan penting untuk membingkai berbagai peristiwa demonstrasi yang terjadi. Ada banyak media lokal yang membingkai peristiwa penting ini. Salah satu media lokal yang turut aktif memberitakan krisis ini adalah Hong kong Free Press. Media ini saya ambil untuk menjadikan rujukan karena saya rasa media ini membingkai banyak berita terkait peristiwa tersebut dengan berada di posisi para pengkritik atau demonstran yang menentang RUU Ekstradisi. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa berita yang diekspos Hong Kong Free Press yang banyak menyoroti alasan demonstran menantang RUU Ekstradisi dan mengungkapkan dampak buruk jika RUU Ekstradisi tidak segera dicabut. Tak hanya itu, Media ini juga mengungkapkan aksi represif aparat hukum terhadap para demonstran anti ekstradisi.
Lihatlah judul-judul berita yang menggambarkan beberapa hal tersebut seperti “In Pictures: 12,000 Hongkongers march in protest against ‘evil’ China extradition law, organisers say”, Explainer: Hong Kong’s Five Demands – withdrawal of the extradition bill, dan Chinese intervention in Hong Kong would be a ‘catastrophe,’ says ex-governor Chris Patten. Berita-berita ini menggambarkan bagaimana peristiwa unjuk rasa terjadi serta alasan-alasan mengapa RUU Ekstradisi ditantang oleh para demonstran hingga sikap represif aparat penegak hukum.
Analisis Framing Model Robert N. Etmant
Setelah memilih Hong Kong Free Press sebagai media rujukan dan Membaca beberapa berita dengan topik yang sama, saya penasaran bagaimana Hong Kong Free Press menyeleksi isu dan aspek yang ditonjolkan dalam peristiwa unjuk rasa Hong Kong 2019. Dengan menerapkan analisis framing model Robert N. Etmant kita bisa melihat berita-berita Hong Kong Free Press dari empat variabel yaitu Define Problems (pendefinisian masalah), Diagnose Causes(memperkirakan sumber masalah), Make Moral Judgement (membuat keputusan moral), hingga Treatment Recommendation (menekankan penyelesaian).
Dari beberapa berita yang diekspos Hong Kong Free Press (HKFP), perdebatan tentang RUU Ekstradisi ini merupakan masalah yang berkaitan dengan aspek konstitusional dan masalah HAM. “For many, it triggered deep-seated anxieties about an opaque and unfair justice system under Beijing’s rule”. Itu yang ditulis media HKFP tentang kecemasan akan sistem peradilan yang tidak jelas oleh Beiing jika RUU Ekstradisi tak kunjung dicabut pemerintah. Saya kira, aspek peradilan yang tidak jelas ini bersangkutan erat dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Diagnose Cause, penyebab terjadinya demonstrasi besar-besaran adalah karena RUU Ekstradisi yang ditangguhkan di bulan Juni saat itu belum ditarik oleh Carrie Lam. Meskipun Carrie Lam mengambil kasus pembunuhan Taiwan tahun 2018 yang dilakukan oleh pemuda Chan Tong-kai terhadap kekasihnya Poon Hiu-wing sebagai faktor pendorong. Ibu korban menginginkan agar Chan diadili di Taiwan, namun Hong Kong tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan pulau yang memiliki pemerintahan sendiri tersebut. Menanggapi hal ini, Ketua Partai DAB, Starry Lee, bersama rekannya Holden Chau, mengusulkan untuk mengubah undang-undang kota agar pemindahan tersebut bisa dilakukan. Namun demo tetap dilakukan karena warga Hong Kong menganggap ada kepentingan politik dibaliknya. Aksi demonstrasi juga diikuti dengan tindakan represif aparat penegak hukum pada demonstran. Dengan demikian menurut HKFP Carrie Lam, partai DAB, dan aparat penegak hukum adalah aktor penyebab krisis Hongkong 2019.
Adapun Moral Judgement yang ditunjukan HKFP adalah pentingnya kebebasan berekspresi, dan kesadaran akan keadilan yang tinggi. Pada akhirnya, pencabutan penuh RUU Ekstradisi dapat dilihat sebagai jalan keluar masalah antara pemerintah Hong Kong dan para demonstran.
Penulis: Syifa Bachmid, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Teknologi Yogyakarta