Menu

Mode Gelap
 

Berita Daerah · 12 Mar 2025 17:40 WIB ·

Pakar Hukum Universitas Widya Mataram: Audit Kerugian Negara BPKP Tidak Memenuhi Bewijs Minimum dan Nullum Crimen Sine Lege Stricta dalam Sidang Kasus Korupsi di PN Bengkulu


 Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H. bersama pengacara PN Bengkulu - Dok. Tim Perbesar

Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H. bersama pengacara PN Bengkulu - Dok. Tim

Bengkulu (13/03/2025) – Sidang kasus dugaan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu dengan Nomor Perkara: 63/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Bgl yang melibatkan dr. Debi Utomo, mantan Direktur RSUD Hasanudin Damrah Bengkulu Selatan, kembali berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan ahli hukum.

Kasus ini berawal dari penggunaan anggaran makan dan minum pasien, yang menurut audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,2 miliar. Berdasarkan hasil audit tersebut, dr. Debi kemudian dijerat oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam sidang ini, kuasa hukum terdakwa menghadirkan ahli hukum Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H., dosen Magister Hukum di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, yang juga merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Kehadiran ahli ini bertujuan untuk menjelaskan legalitas kewenangan BPKP dalam melakukan audit serta menguraikan unsur pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Menurut Dr. Hasrul, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang melakukan audit dan menyatakan adanya kerugian negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa:

“Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.”

Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 juga menegaskan bahwa hanya BPK yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Sementara itu, lembaga lain seperti BPKP, Inspektorat, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan audit, tetapi tidak berwenang men-declare adanya kerugian negara.

Dalam persidangan, Dr. Hasrul juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016, yang menegaskan bahwa unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata (actual loss), bukan sekadar perkiraan (potential loss). Artinya, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, harus ada bukti nyata bahwa negara benar-benar mengalami kerugian.

Menurutnya, dalam kasus ini, hasil audit kerugian negara yang digunakan berasal dari BPKP, bukan BPK. Secara hukum, ini tidak memenuhi bewijs minimum atau standar pembuktian minimal dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, audit yang dilakukan oleh BPKP juga berpotensi dianggap sebagai unlawful legal evidence (alat bukti yang tidak sah), karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk dijadikan dasar penetapan tersangka. Oleh karena itu, Majelis Hakim seharusnya mengesampingkan hasil audit tersebut.

Dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, ahli hukum menjelaskan bahwa unsur wederrechtelijke (perbuatan melawan hukum) merupakan bestandeel delict (inti delik) dari Pasal 2, sementara unsur penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan bagian dari Pasal 3. Ahli menekankan bahwa asas legalitas dalam hukum pidana harus dipenuhi secara ketat, sebagaimana ditegaskan dalam adagium nullum crimen sine lege stricta (tidak ada kejahatan tanpa undang-undang yang jelas).

Dr. Hasrul juga mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 juga memperkuat prinsip ini, dengan menegaskan bahwa suatu perbuatan hanya bisa dianggap melawan hukum jika bertentangan dengan undang-undang, bukan sekadar melanggar aturan teknis seperti Peraturan Bupati, Peraturan Gubernur, atau Peraturan Menteri.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Dr. Hasrul kemudian menguraikan unsur-unsur pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dalam pembuktian, unsur “memperkaya diri sendiri” harus dibuktikan dengan adanya aliran dana yang masuk ke rekening pribadi terdakwa. Selain itu, harus ada bukti nyata dari hasil audit BPK yang menunjukkan kerugian negara secara actual loss. Jika unsur ini tidak terbukti, maka Pasal 2 ayat (1) tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa.

Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor berbunyi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dalam hal ini, unsur penyalahgunaan wewenang berkaitan erat dengan hukum administrasi negara, yang berlandaskan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Oleh karena itu, sebelum menetapkan seseorang sebagai terdakwa berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor, perlu dipastikan bahwa tindakan yang dilakukan benar-benar melanggar norma hukum administrasi dan memiliki konsekuensi hukum pidana.

Sebagai kesimpulan, ahli hukum menegaskan bahwa audit yang dilakukan oleh BPKP tidak bisa dijadikan dasar untuk menjerat terdakwa dalam kasus ini. Mengingat asas legalitas dalam hukum pidana harus dipenuhi secara ketat, maka penggunaan audit dari lembaga yang tidak memiliki kewenangan konstitusional dapat dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam proses hukum.

Artikel ini telah dibaca 11 kali

badge-check

Administrator

Baca Lainnya

Konflik Negeri Sawai Masihulan Dan Rumaolat; “Amputasi” Bantuan Kemanusiaan Di Tengah Jalan

25 April 2025 - 17:03 WIB

Menanggapi Situasi Terkini Terkait Pertambangan Ilegal Gunung Botak : Raja Kaiely Fandi A. Wael Angkat Bicara

23 April 2025 - 14:15 WIB

Jalan Utama Terputus, Kondisi Warga Memprihatinkan

9 April 2025 - 12:52 WIB

Kronologis Pertikaian Antara Negeri Sawai dan Desa Masihulan Kecamatan Seram Utara Kab. Maluku Tengah Provinsi Maluku

9 April 2025 - 12:29 WIB

Ketua HPMIG Malang Dukung Evaluasi Program Dispora Gorontalo

25 Maret 2025 - 13:49 WIB

Kadis PUPR Tikep di Nilai Blunder dan Salah Tafsir mengenai Keterlambatan Pekerjaan Jalan di Maidi

22 Maret 2025 - 13:13 WIB

Trending di Berita Daerah