Menu

Mode Gelap
 

Opini · 9 Jul 2023 17:32 WIB ·

Teror Di Ruang Publik & Sampah Visual


 Subhan Akbar Saidi merupakan Alumni INDEF School Politic and Economy, Penggerak Literasi Belajar, & Terhimpun dalam komunitas penulis Maluku dan peneliti
di Mollucas Corruption Watch (MCW). Perbesar

Subhan Akbar Saidi merupakan Alumni INDEF School Politic and Economy, Penggerak Literasi Belajar, & Terhimpun dalam komunitas penulis Maluku dan peneliti di Mollucas Corruption Watch (MCW).

Pesta demokrasi semakin dekat. Racik strategi untuk menarik empati masyarakat menjadi keharusan. Beragam startegi telah mereka persiapkan, satu diantaranya yakni pemasangan baliho. Pemasangan baliho merupakan alat peraga yang di akomodasi dalam sistem demokrasi praktis. Dalam konteks itu, kita perluh melihat lebih jauh, apakah pemasangan baliho oleh calon legislatif telah memenuhi standar regulasi atau sebaliknya?

Tulisan ini sebetulnya tidak mempermasalahkan pemasangan baliho, hanya saja pemasangan baliho yang melanggar etika publik mestinya menjadi bahan refleksi bagi para caleg.

Jangan di Privatisasi

Ruang Publik seharusnya menjadi milik masyarakat, jangan di privatisasi. Terus terang, baliho-baliho tersebut menjadi sampah visual. Dianggap sebagai sampah visual karena setiap harinya menganggu penglihatan masyarakat.

Dalam titik tertentu, masifitas baliho dari para caleg maupun penguasa yang bertebaran sana-sini telah menginvasi area terbuka yang sebenarnya tidak layak menjadi area pemasangan baliho. Kita bisa lihat disepanjang jalan Batumerah, dan Jembatan Merah Putih (JMP) bahkan rumah ibadah sekalipun dipenuhi dengan baliho para caleg maupun alat peraga lainnya. Parahnya, tiang listrik dan pepohonan pun di pasang dengan alat peraga kampanye. Tak sedap dipandang, dikira monyet yang lagi bergelantungan.

Mereka hadir dengan aneka ragam narasi ucapan baik hari keagamaan, selamat datang, atau perayaan event tertentu.

Pemandangan ini tentu menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sumpek. Para caleg mestinya melakukan refleksi diri, apakah intensitas pemasangan baliho yang mereka lakukan di ruang publik akan mengundang simpati dari masyarakat yang melintas atau sebaliknya?

Ada baiknya jika kita mengetengahkan sebuah pernyataan penegasan bahwa tampilan citra yang terlalu sering disuguhkan kepada masyarakat akan membuat masyarakat tersebut menjadi jenuh dalam titik tertentu, maukah para caleg melakukan refleksi semacam ini? Pernahkah terpikir dalam benak mereka?

Apapun itu, jika tidak dilakukan maka pemasangan baliho yang tak sewajarnya dapat berakibat pada teror di ruang publik. Disebut sebagai teror, karena berimplikasi negatif pada dua aspek. Yakni, merusak tatanan ruang publik dan memperparah rasa jenuh bagi pengguna ruang publik. Satpol PP juga tidak hanya agresif menertibkan pasar yang kadangkala bersikap arogan. Mestinya pemasangan baliho yang melanggar etika publik juga di tertibkan.

Miskin Kreatifitas

Mengedepankan baliho sebagai jurus meraup suara merupakan indikator miskin kreatifitas. Jika saat berkampanye saja nihilisme kreatifitas, bagaimana saat duduk di kursi empuk rumah rakyat. Besar kemungkinan mereka lebih banyak menjadi penonton setia dalam proses perumusan perundang-undangan. Itupun kalau hadir dalam ruang sidang.

Era keterbukaan, mestinya para caleg maupun penguasa menjadikan platform digital sebagai ruang campign. Saya kira ini menjadi langkah efektif untuk membangun citra para caleg dan penguasa.

Menurut Matthew dan Tim Groelling, penggunaan platform digital berbasis media sosial berpotensi menjadi opinion leaders baru yang akan mendapatkan pengikutnya masing-masing (Hastuti, 2011). Hal serupa dijelaskan dalam Institute for Transformation Studies (Intrans) menyatakan pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye ternyata lebih efektif bagi partai politik atau para caleg. Sebab, ketika ide dan gagasan yang disampaikan oleh para caleg, bisa langsung segera direspon oleh audiens. Para caleg juga bisa berinteraksi langsung dengan pemilih. Misalnya menjawab pertanyaan langsung di media sosial, sehingga terjadi kedekatan antara kandidat dan pemilih.

Belajar pada Obama

Sebenarnya di Indonesia belum ada partai politik atau para caleg melakukan kampanye berbasis digital secara total. Seluruhnya masih dilakukan dengan cara bauran, yakni mengkombinasikan cara-cara online dengan cara konvensional.

Berbeda dengan Barack Obama. Kemenangan Barack Obama dalam Pilpres menjadikanya pembeda dengan lawan politiknya saat itu. Mereka (Tim) melakukan kampanye besar-besaran melalui facebook.

Tindakanya penuh dengan pertaruhan besar, namun menyimpan segudang peluang. Alhasil ia (Obama) terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat saat itu.

Obama menghasilkan kekuatan yang tidak terlihat dalam menghasilkan dana kampanye, mengorganisasi tim lokal, melawan kampanye hitam dan membantunya untuk meningkatkan jumlah suara melebihi Hillary Clinton dan John McCain dari partai republik.

Obama tidak hanya membangun basis politik, tetapi data base dengan jutaan nama pendukungnya yang bisa di kordinir kapan saja.

Kita berharap kontestasi politik di Maluku semakin inovatif dalam memberikan narasi. Tidak lagi menggunakan cara-cara brutal demi memenuhi gairah kekuasaan.

Penulis: Subhan Akbar Saidi – Alumni INDEF School Politic and Economy & Penggerak Literasi Belajar

Artikel ini telah dibaca 78 kali

badge-check

Administrator

Baca Lainnya

Penambangan Pasir Kali Gendol: Antara Manfaat Ekonomi, dan Kerusakan Lingkungan

10 Januari 2025 - 07:03 WIB

PERAN MEDIA DALAM MENGANGKAT ISU-ISU PAPUA: PERSPEKTIF KOMPAS

8 Januari 2025 - 19:21 WIB

Analisis Pemberitaan BBC World Service tentang Isu Papua dalam Konteks Subnational Authoritarianism

8 Januari 2025 - 14:39 WIB

Mendorong Dialog dan Keadilan: Framing Tempo terhadap Konflik di Papua

7 Januari 2025 - 18:26 WIB

Mengancam Hak Otonomi Hongkong, RUU Ekktradisi ditolak Demonstran

6 November 2024 - 18:16 WIB

Bagaimanakah Media Barat Memberitakan Prabowo Sebagai Presiden Terpilih Indonesia?

6 November 2024 - 17:55 WIB

Trending di Opini