Menu

Mode Gelap
 

Opini · 5 Mei 2025 18:17 WIB ·

Warung Angkringan: Penjaga Rasa dan Identitas Yogyakarta


 Sumber: Google
Perbesar

Sumber: Google

Yogyakarta (05/05/2025) – Yogyakarta, kota yang terkenal dengan julukan “Kota Pelajar” dan “Kota Budaya,” menyimpan berbagai warisan tradisional yang masih lestari hingga kini. Salah satu ikon budaya yang tetap bertahan meski zaman terus berganti adalah warung angkringan. Angkringan bukan hanya sekadar tempat makan kaki lima. Lebih dari itu, ia merupakan simbol kesederhanaan, ruang sosial egaliter, dan bagian dari identitas kultural Yogyakarta yang tidak lekang oleh waktu.

Angkringan mudah dikenali dari bentuk gerobaknya yang khas, biasanya terbuat dari kayu dengan lampu terang redup menggantung, menghadirkan suasana yang akrab dan hangat. Menu yang disajikan pun sederhana: nasi kucing, gorengan, sate usus, telur puyuh, tempe bacem, hingga kopi jos. Meski sederhana, justru dalam kesederhanaannya itulah letak kekuatan angkringan. Ia tidak menawarkan kemewahan, tetapi menawarkan kenyamanan dan kehangatan—sesuatu yang sering kali hilang di tengah gemerlap kafe modern.

Keberadaan angkringan masih tetap utuh hingga hari ini karena ia menyatu dengan nilai-nilai masyarakat Jogja: ramah, bersahaja, dan terbuka. Di angkringan, tidak ada batas antara status sosial. Mahasiswa, buruh, seniman, tukang becak, hingga pejabat bisa duduk berdampingan tanpa rasa canggung. Suasana ini sulit ditemukan di tempat lain. Angkringan menjadi ruang di mana obrolan ngalor-ngidul terjadi, ide-ide muncul, dan persaudaraan tumbuh. Bahkan, tidak sedikit karya seni dan gerakan sosial yang awalnya dirancang dari obrolan sederhana di bangku angkringan.

Lebih dari itu, angkringan juga menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi budaya akibat globalisasi. Saat kafe modern dan restoran cepat saji menjamur, angkringan tetap mempertahankan karakternya. Ia tidak berusaha berubah mengikuti tren, tetapi tetap pada jalurnya, dan justru karena itu, ia semakin dicintai. Banyak wisatawan luar daerah yang menjadikan angkringan sebagai destinasi wajib ketika berkunjung ke Jogja, karena ingin merasakan “Jogja yang sesungguhnya”—Jogja yang sederhana, bersahabat, dan penuh makna.

Warung angkringan telah melampaui fungsinya sebagai tempat makan. Ia adalah simbol kebudayaan yang hidup, warisan yang dijaga bukan hanya oleh pemiliknya, tetapi juga oleh masyarakat yang merasa memiliki. Keberadaan angkringan yang masih utuh hingga kini adalah bentuk perlawanan halus terhadap modernitas yang serba instan dan individualistik.

Oleh karena itu, menjaga kelestarian angkringan bukan hanya tentang mempertahankan bentuk fisiknya, tetapi juga merawat nilai-nilai yang dikandungnya. Pemerintah daerah dan masyarakat perlu bersinergi agar warung angkringan tetap menjadi bagian dari wajah kota Jogja. Dengan cara ini, kita tidak hanya menyelamatkan sebuah warung, tetapi juga merawat jiwa dari kota yang dikenal karena kelembutannya.

Oleh : Gibral Alhoiri Siregar, mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berasal dari pelosok negeri Sumatera Utara yang mengembara ke kota istimewa katanya.

Artikel ini telah dibaca 27 kali

badge-check

Administrator

Baca Lainnya

Penambangan Pasir Kali Gendol: Antara Manfaat Ekonomi, dan Kerusakan Lingkungan

10 Januari 2025 - 07:03 WIB

PERAN MEDIA DALAM MENGANGKAT ISU-ISU PAPUA: PERSPEKTIF KOMPAS

8 Januari 2025 - 19:21 WIB

Analisis Pemberitaan BBC World Service tentang Isu Papua dalam Konteks Subnational Authoritarianism

8 Januari 2025 - 14:39 WIB

Mendorong Dialog dan Keadilan: Framing Tempo terhadap Konflik di Papua

7 Januari 2025 - 18:26 WIB

Mengancam Hak Otonomi Hongkong, RUU Ekktradisi ditolak Demonstran

6 November 2024 - 18:16 WIB

Bagaimanakah Media Barat Memberitakan Prabowo Sebagai Presiden Terpilih Indonesia?

6 November 2024 - 17:55 WIB

Trending di Opini